Seorang perawat tentu paham betul tentang apa itu pengertian komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik yang baik dan benar harus dikuasai oleh seorang perawat agar supaya proses asuhan keperawatan dapat berjalan dengan baik sehingga dapat membantu mempercepat penyembuhan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mendorong penyembuhan yang bisa diaplikasi kan ke semua tipe pasien, contoh anak-anak, lansia dan juga pasien dengan penyakit kronis seperti DM dan hipertensi.
Contoh gambar Komunikasi terapeutik perawat dengan pasien lansia |
Komunikasi terapeutik adalah keterampilan yang harus dikuasai perawat untuk membantu pasien beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis, dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.(Northouse, 1998).
Sedangkan menurut DepKes RI komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong penyembuhan pasien.
Fungsi Dan Tujuan Komunikasi terapeutik
Komunikasi terapeutik berfungsi untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama antara perawat dengan pasien melalui hubungan terapeutik, Perawat berusaha mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan.
Tujuan komunikasi terapeutik
- Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan fikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada, bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.
- mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil keputusan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
- mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri
Jenis - jenis komunikasi terapeutik
Dalam buku purba tahun 2003, Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995), komunikasi terapeutik dibagi dalam tiga jenis komunikasi, yaitu :
1. Komunikasi verbal
Komunikasi terapeutik jenis ini paling sering digunakan dalam rumah sakit karena kamunikasi terapeutik verbal biasanya lebih jelas dan akurat. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. komunikasi verbal memiliki keuntungan yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.
2. Komunikasi tertulis
Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo, laporan, iklan di surat kabar dan lain- lain.
3. komunikasi non verbal
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan pasien mulai dan saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.
Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Menurut Arwani (2002) ada tiga hal mendasar yang memberi ciri- ciri komunikasi terapeutik antara lain:
- Keikhlasan (Genuiness)
Perawat harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan pasien. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan secara tepat.
- Empati (Empathy)
Empati merupakan perasaan ”pemahaman” dan ”penerimaan” perawat terhadap perasaan yang dialami pasien dan kemampuan merasakan dunia pribadi pasien. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati cenderung bergantung pada kesamaan pengalaman diantara orang yang terlibat komunikasi.
- Kehangatan (Warmth)
Dengan kehangatan, perawat akan mendorong pasien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien. Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam.
Metode atau teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam ‘Buku Saku Keperawatan Jiwa’ Stuart dan Sundeen (1998) menyebutkan metode atau teknik yang digunakan dalam komunikasi terapeutik dalam bidang keperawatan yaitu :
- Mendengarkan dengan penuh perhatian: perawat harus menjadi pendengar yang aktif, beri kesempatan pasien untuk lebih banyak berbicara. Dengan begitu perawat dapat mengetahui perasaan pasien.
- Menunjukkan penerimaan: menerima bukan berarti menyetujui, namun kesediaan untuk mendengarkan tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan akan apa yang dikatakan pasien.
- Menanyakan pertanyaan yang berkaitan: ini dilakukan untuk mendapatkan informasi spesifik mengenai hal yang diampaikan pasien. (baca: Analisis Framing)
- Mengulangi ucapan pasien menggunakan kata-kata sendiri: ini dilakukan untuk mendapatkan umpan balik. Bahwa perawat mengerti pesan pasien, dan berharap komunikasi dilanjutkan kembali.
- Mengklasifikasi: usaha perawat untuk menjelaskan kata-kata ide atau pikiran yang kurang jelas dari pasien.
- Memfokuskan: Bahan pembicaraan dibatasi agar pembicaraan lebih spesifik.
- Menyatakan hasil observasi: perawat menguraikan kesan yang didapatnya dari isyarat nonverbal yang dilakukan pasien.
- Menawarkan informasi: memberikan tambahan informasi yang bertujuan untuk memfasilitasi pasien dalam mengambil keputusan.
- Diam: dengan diam, pasien dan perawat memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Mengorganisir pikiran dan memproses informasi yang didapatkan.
- Meringkas: pengulangan ide utama secara singkat.
- Memberi penghargaan kepada pasien.
- Memberi pasien kesempatan untuk memulai pembicaraan, memberi inisiatif dalam memilih topic pembicaraan.
- Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan, dalam metoda ini perawat memberikan pasien kesempatan untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan yang berlangsung.
- Menempatkan kejadian secara berurutan, untuk membantu perawat juga pasien melihatnya dalam suatu perspektif.
- Memberikan pasien kesempatan untuk menguraikan persepsinya.
- Refleksi: memberikan pasien kesempatan untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya.
Komponen komunikasi terapeutik
Agar dapat terbentuknya sebuah komunikasi terapeutik yang baik ialah dengan adanya komponen-komponen yang harus ada supaya komunikasi terapeutik dapat terlaksana.
- Pengirim (Komunikator) " Perawat"
- Pesan (Topik yang ingin disampaikan)
- Penerima (Komunikan) "Pasien"
- Media (Chanel)
- Umpan Balik
- Lingkungan
Sikap Komunikasi Terapeutik
Menurut Egan ada lima sikap yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, agar supaya kehadiran komunikator dapat dirasakan oleh pasien dalam sebuah komunikasi terapeutik yaitu :
- Berhadapan Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
- Mempertahankan kontak mata, Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai pasien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
- Membungkuk ke arah pasien, Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu.
- Mempertahankan sikap terbuka, Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
- Tetap rileks, Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada pasien.
Tahap Komunikasi Terapeutik
Dalam membina hubungan terapeutik (berinteraksi) dengan pasien, perawat mempunyai empat tahapan yang pada setiap tahapnya mempunyai tugas yang berbeda-beda dan harus diselesaikan oleh perawat (Stuart dan Sundeen, dalam Christina, dkk, 2003) :
1. Tahap persiapan (Prainteraksi)
Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum berinteraksi dengan pasien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat menggali perasaan dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya, juga mencari informasi tentang pasien. Kemudian perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan pasien. Tahap ini harus dilakukan oleh perawat untuk memahami dirinya dan menyiapkan diri (Suryani, 2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi dengan pasien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan dengan interaksi yang akan dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa yang dicemaskan? (Suryani, 2005).
Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan pasien. Misalnya seorang perawat mungkin mempunyai kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk memudahkannya dalam membuka pembicaraan dengan pasien dan membina hubungan saling percaya (Suryani, 2005).
Mengumpulkan data tentang pasien. Kegiatan ini juga sangat penting karena dengan mengetahui informasi tentang pasien perawat bisa memahami pasien. Paling tidak perawat bisa mengetahui identitas pasien yang bisa digunakan pada saat memulai interaksi (Suryani, 2005).
Merencanakan pertemuan yang pertama dengan pasien. Perawat perlu merencanakan pertemuan pertama dengan pasien. Hal yang direncanakan mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk pertemuan pertama tersebut (Suryani, 2005).
2. Tahap perkenalan (Orientasi)
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan pasien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada pasien (Brammer dalam Suryani, 2005). Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada pasien dan ini diharapkan akan mendorong pasien untuk membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan pasien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka. Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan hubungan terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005), karena tanpa adanya rasa saling percaya tidak mungkin akan terjadi keterbukaan antara kedua belah pihak. Hubungan yang dibina tidak bersifat statis, bisa berubah tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J dalam Suryani 2005). Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima pasien apa adanya, menepati janji, dan menghargai pasien (Suryani, 2005).
Merumuskan kontrak pada pasien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam Suryani, 2005). Pada saat merumuskan kontrak perawat juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan pasien agar tidak terjadi kesalah pahaman pasien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu juga untuk menghindari adanya harapan yang terlalu tinggi dari pasien terhadap perawat karena pasien menganggap perawat seperti dewa penolong yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Perawat perlu menekankan bahwa perawat hanya membantu, sedangkan kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada diri pasien sendiri (Suryani, 2005).
Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah pasien. Pada tahap ini perawat mendorong pasien untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat dapat mendorong pasien untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga dapat mengidentifikasi masalah pasien. merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi bersama pasien karena tanpa keterlibatan pasien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah pasien diidentifikasi.
Fase orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua dan seterusnya, tujuan fase ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan pasien saat ini, dan mengevaluasi hasil tindakan yang lalu. Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan bersama pasien (Cristina, dkk, 2002).
3. Tahap kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan pasien bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi pasien. Pada tahap kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong pasien mengungkap perasaan dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal pasien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien. Melalui active listening, perawat membantu pasien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih.
Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan pasien. Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-pasien memiliki pikiran dan ide yang sama (Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik menyimpulkan adalah membantu pasien menggali hal-hal dan tema emosional yang penting (Fontaine & Fletcner dalam Suryani, 2005)
4. Tahap terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan pasien (Christina, dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-pasien, setelah terminasi sementara, perawat akan bertemu kembali dengan pasien pada waktu yang telah ditentukan. Terminasi akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan.
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh terkesan menguji kemampuan pasien, akan tetapi sebaiknya terkesan sekedar mengulang atau menyimpulkan.
Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan perasaan pasien setelah berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu mengetahui bagaimana perasaan pasiensetelah berinteraksi dengan perawat. Apakah pasien merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya? Apakah pasien merasa bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan masalah baru bagi pasien.
Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini juga disebut sebagai pekerjaan rumah untuk pasien. Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya. Misalnya pada akhir interaksi pasien sudah memahami tentang beberapa alternative mengatasi marah. Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa meminta pasien untuk mencoba salah satu dari alternative tersebut.
Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar terdapat kesepakatan antara perawat dan pasien untuk pertemuan berikutnya. Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi.
Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses terminasi perawat-pasienmerupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan, sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi dan kecemasan dapat terjadi lagi pada pasien. Timbulnya respon tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati dan responsif terhadap kebutuhan pasien pada pelaksanaan tahap sebelumnya.
Download Contoh komunikasi terapeutik =DISINI=
Advertisement