Info Populer 2022

10 Alasan Gagalnya Membangun Layanan Berkualitas

10 Alasan Gagalnya Membangun Layanan Berkualitas
10 Alasan Gagalnya Membangun Layanan Berkualitas
Pelayanan berkualitas ialah indikator kemajuan perusahaan penyedia jasa yang diukur setiap tahun. Peningkatan loyalitas pelanggan merupakan prioritas utama bagi kebanyakan perusahaan, sebab bagi mereka indeks kepuasan pelanggan memperlihatkan hasil penelitian penting untuk perbaikan.

Menurut Harvard Business Review, peningkatan 1,3% pada kepuasan pelanggan mensugesti peningkatan pendapatan sebesar 0,5%. Perusahaan yang memimpin dalam pelayanan mempunyai 12 kali profitabilitas dan pertumbuhan 9% lebih besar daripada penyedia layanan yang buruk. Bain & Co menemukan bahwa peningkatan 12 poin sanggup meniru tingkat pertumbuhan perusahaan.

Sementara itu, sebuah laporan oleh American Customer Satisfaction Index menandakan bahwa perusahaan terkemuka konsisten mengungguli pasar. Pemimpin pelayanan pelanggan unggul 93% berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dow, 20% berdasarkan survei Fortune 500, dan 335% berdasarkan Nasdaq.

Kualitas pelayanan ialah sebuah variabel kunci yang strategis dalam perjuangan perusahaan berbasis jasa untuk memuaskan dan mempertahankan pelanggan yang ada, sekaligus menarik pelanggan baru. Namun, beberapa aspek pelayanan, contohnya yang bekerjasama dengan acara karyawan dan perilaku pelanggan, berada di luar kontrol para manajer. Akibatnya, kegagalan dalam memperlihatkan pelayanan prima pun tak terelakkan.

Kadang kesalahan terjadi dan segala hal mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuan. Jika demikian, dibutuhkan tindakan pemulihan yang akan mengatasi permasalahan dan membentuk ulang kepuasan pelanggan. Berikut ialah 10 alasan perusahaan gagal membangun pelayanan berkualitas.
 ialah indikator kemajuan perusahaan penyedia jasa yang diukur setiap tahun 10 Alasan Gagalnya Membangun Layanan Berkualitas


Alasan pertama terletak pada perilaku hambar atas keluhan pelanggan. Perusahaan hanya terpaku pada hasil penjualan dan keuntungan. Hasil survei hanya dijadikan laporan kepada investor tanpa perbaikan signifikan. Hal ini terjadi sebab pemimpin perusahaan selalu hanya berbicara wacana layanan, tetapi tidak melaksanakan perubahan yang signifikan dan terus mengalami dilema yang sama dengan pelanggan dan persaingan.

Alasan kedua ialah visi tanpa vitalitas yang sering kali dialami oleh perusahaan penyedia jasa. Dengan mengumandangkan bahwa perusahaan tidak perlu menjadi perusahaan terbesar, hanya menjadi penyedia layanan terbaik. Tetapi, visi tersebut hanya menjadi moto perusahaan, tanpa ada rencana atau tindakan menuju ke arah tersebut.

Alasan ketiga ialah akhir dari terlalu banyak memakai pendekatan yang terlihat “mujarab” di perusahaan lain dan eksklusif mengimplementasikan di perusahaan tanpa uji coba yang komprehensif. Seperti salah satu CEO yang tetapkan untuk memakai Just in Time taktik produksi perusahaan lain.  Saat ia melakukannya dengan cara yang sama persis, ternyata ia gagal. Akibatnya ia harus PHK banyak orang, dan dalam waktu dua tahun ia kehilangan pekerjaannya.

Alasan keempat ialah salah fokus. Perusahaan hanya fokus pada tagline pelayanan “customer first” yang terkesan diinisiasi karyawan untuk menomorsatukan pelanggan, padahal karyawan tidak benar-benar menjiwai tagline tersebut sehingga terkesan tidak konsisten. Hasil survei menyatakan 85%–95% dari dilema pelayanan terkait dengan manajemen, bukan hanya karyawan.

Alasan kelima ialah perilaku perusahaan yang hanya terlalu sibuk akan keluhan pelanggan dan terpaut pada beberapa saran pelanggan yang terlalu variatif sampai kehilangan arah dan tujuan, juga kewalahan. Mereka tidak punya fokus dan berakhir dengan hasil penjualan negatif.

Alasan keenam ialah perilaku sok tahu dan malas berinovasi. Ini bahkan sanggup menjadikan sebuah perusahaan bernilai US$27 miliar stagnan dengan harga saham yang rendah, laba yang buruk, dan pertumbuhan negatif. Mereka menolak pinjaman luar dan berdalih mempunyai tujuan strategis untuk mementingkan komitmen kepada pelanggan, tetapi mereka tidak benar-benar melakukannya. Setelah berusaha meningkatkan pelayanan selama satu dekade, mereka tetap berada di bawah rata-rata industri.

Alasan ketujuh, training karyawan dianggap solusi dari semua dilema perusahaan. Banyak pemimpin mengirimkan karyawan mereka untuk kursus online, tetapi tidak pernah mencoba untuk meng-upgrade organisasi desain, sistem, proses, atau kerja sama lintas-departemen.

Alasan kedelapan, menganggap teknologi terbaru sebagai jalan keluar dari semua masalah. Seperti terjadi pada salah satu organisasi ritel yang menghabiskan jutaan untuk meningkatkan retensi pelanggan melalui teknologi gres mahal, yang ternyata tidak membantu. Pertumbuhan penjualan mereka pun terus ke bawah.

Alasan kesembilan ialah mempunyai terlalu banyak konsultan untuk semuanya, dari TQM, Six Sigma, Goal, ISO, Kaizen, dan aneka macam pendekatan lainnya untuk mendapat yang lebih baik. Sayangnya beberapa upaya ini jarang dihukum dengan baik secara berkelanjutan. Karyawan hanya akan karam dalam pertemuan, pengolahan data, dokumen. Lalu, kapan karyawan sanggup melayani pelanggan?

Alasan kesepuluh, punya taktik besar tetapi gagal untuk mencapai hasil yang diinginkan sebab sanksi yang buruk. Janji-janji perubahan terkesan menjadi hikmah palsu, yang tentu saja memperlihatkan kurangnya integritas.

Untuk memenangkan hati pelanggan, perusahaan harus kembali ke dasar-dasar yang berfokus pada memahami kebutuhan dan cita-cita pelanggan, dan menghargai karyawan mereka. Pengusaha Ross Perot pernah berkata, “Habiskan banyak waktu berbicara dengan pelanggan melalui tatap muka.” Sumber dari Marketing.co.id
Advertisement

Iklan Sidebar